MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Kontroversi
Serat Darmo Gandhul: Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?
Masuknya
Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa. Salah
satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang kontroversial itu. Dalam serat
yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga
hambatan dan benturan dengan budaya dan kepercayaan lokal.
Penulis
serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan, pengarangnya
adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi, yang berarti
rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk prosa dengan
pengkisahan yang menarik.
Isi Darmo Gandhul tentu saja mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin mengislamkan Pulau Jawa.
Isi Darmo Gandhul tentu saja mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin mengislamkan Pulau Jawa.
Terkait
dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, kebetulan
saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya berbahasa Jawa Kuno. Yang
saya kirimkan berikut ini adalah versi yang tidak lengkap, bersumber dari
Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa baca dan menilai sendiri. Hanya agar
lebih enak untuk dibaca, Posmo menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat,
pembaca sendiri harus kritis menyikapi isi cerita yang mungkin amat tendensius
ini.
Serat
Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang berukuran 15
cm x 15 cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat Darmo Gandhul yang dimuat
berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Isi dari serat ini rasanya masih
relevan dikaitkan dengan zaman sekarang, dimana mulai bermunculan kelompok
fundamentalis Islam, terorisme yang mengatas namakan agama, dan juga
kelompok-kelompok yang bermimpi untuk mendirikan kekhalifahan Islam di negeri
ini, dan juga di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Selamat
membaca!
Tokoh
terkait:
Para
penulis : – Darmo Gandhul – murid Ki Kalam Wadi – Ki Kalam Wadi – penulis serat
– Raden Budi – guru Ki Kalam Wadi
Para
pelaku : – Prabu Brawijaya – Raja Majalengka (Majapahit), raja Majapahit
terakhir, yg dgn sedih harus menyaksikan kerajaannya dicabik2 oleh puteranya,
Raden Patah, yg melawan ayahnya yg dianggapnya ‘Budha kafir kufur’.
- Putri
Campa (Dwarawati? Dara Petak?) – permaisuri Prabu Brawijaya dari Cina yg
memperkenalkan Islam pada PB, yg kemudian disesali PB
- Sayid
Rahmad – kemenakan Putri Campa (Sunan Ampel) yg diberi ijin PB utk menyebar
Islam di Jawa
- Sayid
Kramat – Sunan Bonang, tokoh licik yg mengakibatkan permusuhan antara PB dgn
puteranya sendiri, Raden Patah. Ialah yg mengajarkan Raden Patah utk membenci
ayahnya yg kafir. Sesuai dgn buku ‘suci’ Islam :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu pelindung-pelindung mu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
pelindung-pelindung mu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. [9.24]
- Raden
Patah (Babah) – putra Prabu Brawijaya, dikenal juga sbg Adipati Demak/Senapati
Jimbuningrat/ Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil
Abdulhamid Khak/Sultan Adi Surya Alam di Bintoro. Putera lalim yg membawa
kesengsaraan pada Majapahit & akhirnya, tanah air kita ini. (Di SMA, kami
tidak pernah diajarkan bahwa kejatuhan Majapahit sebenarnya diakibatkan oleh kerakusan
seorang anak. Paling cuma dikatakan : Majapahit vs Demak)
- Sunan
Kalijaga : negosiator licik yg ingin merebut kembali hati PB setelah RP
menyesali perbuatannya. Sunan Kalijaga ini yg menarik PB masuk Islam. Perbuatan
PB ini kemudian dicela oleh tokoh bijak, Ki Sabdapalon.
dll : –
Raden Kusen (Raden Husen/Raden Arya Pecattanda) – saudara kandung Raden Patah
(lain ayah) – Ki Bandar – sahabat Sunan Bonang – Bandung Bondowoso – Nyai
Plencing – dedemit – Buta Locaya – raja dedemit (mantan Patih Sri Jayabaya) –
Ni Mas Ratu Pagedongan (Ni Mas Ratu Angin-Angin) – Kyai Tunggul Wulung – Kyai
Patih – Syech Siti Jenar – Tumenggung Kertosono – Sunan Giri – Arya Damar –
Bupati Palembang – Patih Mangkurat – Setyasena – komandan pasukan Cina Islam –
Bupati Pati – Adipati Pengging – Adipati Pranaraga – Sabdo Palon – Naya
GenggongDARMAGANDHUL http://forum. cari.com. my/archiver/ ?tid-226518. html
Darmagandhul,
karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat,
bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh
Ki Kalamwadi, waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Amanat
ajaran dalam teks dituangkan dalam bentuk dialaog antara Ki Kalamwadi dengan
Darmagandhul, isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan
tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.
Ki
Kalamwadi berguru kepada Raden Budi, sementara Raden budi mempunyai murid
bernama Darmagandhul. Darmagandhul menanyakan kepada gurunya mengenai kapan
agama Islam itu datang di pulau Jawa. Ki Kalamwadi menjawab bahwa pada zaman
Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya, permaisuri Prabu Brawijaya
membujuk agar beliau beralih ke agama Islam. Sayid Rahmat atau Sunan Benang
(Bonang), kemenakan permaisuri Prabu Brawijaya yang berasal dari Campa, diberi
tanah di Tuban dan diizinkan untuk menyebarkan agama Islam. Daerah
penyebarannya sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Blambangan sampai Banten.
Kemudian
datanglah Raden Patah, yakni putra Prabu Brawijaya yang lahir di tanah Palembang,
yang diberi tanah Demak dan sebagai adipati, juga diizinkan menyebarkan agama
Islam. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Benang di daerah Kediri
mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di daerah tersebut. Kemudian
Sunan Benang menuju ke desa Bogem, dan merusak arca kuda berkepala dua karya
Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya
yang mendesak agar Sunan Benang pergi dari daerah itu.
Patih
Gajah Mada menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah Kertasana
rusak akibat perbuatan Sunan Benang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan
agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang
tinggal di Ngampelgading dan Demak, Sunan Benang dan Sunan Giri menyingkir ke Tuban
dan berlindung ke Demak.
Perlawanan
antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan Demak
Dengan
pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Gajah Mada gugur di medan
laga. Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak diperintahkan
masuk agama Islam. Akhirnya Sultan Patah yang didukung oleh para wali pergi ke
Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat
menyesali perbuatan yang dilakukan oleh Sultan Patah melawan ayahnya.
Ia
mempermasalahkan Sultan Patah beserta para wali yang tidak baik budi kepada
Prabu Brawijaya. Ia memberikan beberapa contoh yang tidak baik misalnya
kejadian di Mesir yang dialami Nabi Daud, perebutan kekuasaan yang dilakukan
Prabu Dewatacengkar terhadap ayahnya, Prabu Sindhula dan peristiwa Prabu
Danapati raja Lokapala melawan ayahnya, Sang resi Wisrawa.
Dengan
adanya penjelasan dari neneknya tadi, maka Sultan Patah sangat sedih dan
menyesal atas segala perbuatannya. Ahkirnya Sunan Kalijaga diutus untuk mencari
Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali menjadi raja
Majapahit.
Sekembalinya
Sultan Patah ke Demak, ia disambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu
kepada Sunan Benang, akhirnya Sunan Benang memberikan penjelasan secara panjang
lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya
seorang kafir.
Sunan
Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya.
Karena kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke
Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk
akan agama Islam sedikit banyak hilang. Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama
Islam secara lahir maupun batin.
Tawaran
masuk agama Islam kpd punakawan Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan
Nayagenggong, berakhir dengan penolakan. Sabdapalon menilai bahwa Prabu
Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama
Budha. Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya dgn mengatakan
bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air
telaga itu berbau wangi dan terjadilah demikian. Setalah selama seminggu dalam
perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga akhirnya sampailah
di Ngampeldenta.
Jatuhnya
Kerajaan Majapahit atas serangan Demak dilukiskan secara simbolis.
Darmagandhul
juga minta penjelasan tentang agama Nasrani yang kemudian dijelaskan oleh
Kalamwadi. Disebutkan bahwa agama Nasrani itu dibawa oleh Nabi Ngisa, Putra
Tuhan. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas
penyerbuannya ke Kerajaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya. Bahkan
ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari
ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih
hati kembali ke Demak.
Darmagandhul
menguraikan tentang sebab-sebab Nabi Adam dan Ibu Kawa turun dari surga terkena
marah Tuhan. Darmagandhul tidak mengetahui bagaimana pandangan kitab Jawa
tentang Nabi Adam itu. Ki Kalamwadi menjelaskan bahwa orang Jawa tidak
mempunyai kitab yang menceritakan tentang pengusiran Tuhan terhadap Nabi Adam
dan Ibu Kawa itu. Kitab yang menjadi pegangan raja hanyalah Manikmaya.
Darmagandhul
juga menguraikan pendapatnya bahwa baginda harus konsekuen mengerjakan
peraturan2 agama yang ada di dalamnya. Namun, yang paling baik bagi orang Jawa
adalah agama Budi, sebab agama Budi telah dianut sejak dahulu kala.
Perbedaan
agama Islam, Nasrani, Cina dan Jawa
Ki
Kalamwadi mencela orang yang naik haji ke Mekah dengan mengharapkan kelak masuk
surga. Konon ada anggapan bahwa yang datang naik haji ke Mekah dan mencium
Kabah akan terhapus dosanya dan nantinya masuk surga. Hal itu itu tidaklah
benar. Orang akan masuk surga apabila dirinya bersih. Perbedaan adanya utusan
dan kitab yang menjadi pegangan itu berbeda. Kalamwadi menjawab bahwa itulah
kebebasan yang diberikan Tuhan agar manusia memilih agama yang menjadi
kesenangannya. Meskipun demikian, agama Budi bagi orang Jawa tetap lebih tinggi
dan sesuai.
Kalamwadi
membetangkan ajaran kepada istrinya, Perjiwati, mengenai hal keutamaan dalam
hidup dan mengenai ajaran perkawinan. Bekal perkawinan itu bukannya rupa dan
harta akan tetapi hati. Perkawinan diibaratkan sebagai galah dan kemudi, yang
masing-masing harus sejalan. Diuraikan pula mengenai 4 kemuliaan, yaitu: (1)
kemuliaan yang lahir dari diri sendiri, (2) yang lahir dari harta benda
pemilik, (3) kemuliaan karena kepandaiannya, (4) kemuliaan karena
pengetahuannya. Generasi sekarang tidak boleh meremehkan generasi pendahulunya
(orang kuna).
Menurut
Ki Kalamwadi disebutkan bahwa bekas kerajaan Prabu Brawijaya tidak terletak di
Kediri, akan tetapi terletak di Daha. Akhir kehidupannya, Prabu Jayabaya muksa
diiringkan oleh Patih Tunggulwulung dan Nimas Ratu pagedhongan. Tunggulwulung
diperintahkan menjaga Gunung Kelud sedangkan Nimas ratu Pegendhongan menjadi
ratu jin penguasa laut selatan dengan gelar Ratu Angin-Angin alias Nyi Loro
Kidul !Pada suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal
mula orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam.
Lantas, Ki
Kalamwadi pun menjawab, Quote:”Aku tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat
dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan agama Budha dan
berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum
tahu menjadi tahu.”
Pada zaman
dulu Majapahit (1292-1478) bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan. Bagi
yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan.
Prabu
Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa
yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika
sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu.
Putri
Campa
Setiap
dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali
kemuliaan agama Islam. Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa
bernama Sayid Rahmad. Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka.
Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento- Surabaya.
Banyak
ulama dari seberang datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin
tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan
banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan
itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk
wilayah Tuban. Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad
Rasulullah.
Orang-orang
Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir
Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah
Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran
Islam.
Agama
Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi
Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Raden
Patah Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim seorang Putri Cina (Puteri Campa ?). Ketika Raden Patah
dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih
sekandung, bernama Raden Kusen (Husein ).
Sang
Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama
Buddha, keturunan raja yang lahir di pengunungan. Dari jalur ibu disebut
Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib.
Sang
Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun
berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan
Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang
artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang
Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah
Patah.
Sampai
saat ini, keturunan pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak
menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya.
Babah
Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di
sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.
Babah
Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di
Palembang. Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen
diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran
Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan
artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.
Orang
yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu
itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang
mengurangi makan dan tidur.
Sang
Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan.
Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.
Sunan
Bonang Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua
sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air
sungai Brantas yang meluap.
Sunan
Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang
menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha .
Ternyata,
kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung
Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage
wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan
enak dan bergembira ria.
Kata
Sunan Bonang, ” Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya,
tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.” Sejak
itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Kutukan
Sunan Bonang terhdp Seorang Wanita Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan
Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh,
maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan
penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud.
Sesampai
di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada
seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. ” Hai Gadis, aku minta air
simpanan yang jernih dan bersih,” kata sahabat itu.
Perawan
itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham.
Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar :
“Kamu
baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang
yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila
kamu mau meminumnya.”
Mendengar
kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat
langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang,
peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Mendengar
penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan
menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh
sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kimpoi
sebelum menjadi jejaka tua.
Terkena
ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok
arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang
arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini
daerah Gedhah sulit air.
Perempuan-perempuan
nya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat
berumah tangga.
Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada
demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang
sedang dikerumuni anak cucunya.
Mereka
lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka engganggu kaum mahluk halus
dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing
membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar
tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar
usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan
Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang.
Badannya terasa panas seperti dibakar.
Setan-setan
itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.
Raja
mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buta
Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal
sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya
diminta untuk nama negara.
Ia diberi
nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh.
Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya
mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Sebutan
itu hampri menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan Kyai Daka.
Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya. Kisah soal
kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka.
Sang
Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan itu. Nama Kyai Daka
pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggulwulung. Seterusnya ia
diangkat menjadi panglima perang.
Ketika
Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas Ratu
Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni Mas kemudian
menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu
Angin-Angin.
Semua
mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu
Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung
tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa
sekitar.
Ketika
Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur
babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya,
Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing
yang datang sambil menangis.
Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah
orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan
para setan dan penduduk daerah itu. Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya
murka.
Tubuhnya
bagaikan api Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang.
Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang.
Mengikuti
arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma
menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang
beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.
Menghadang
perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan
Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang perjalanannya.
Tubuh
Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu
itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang.
Namun
tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas.
Dua sahabatnya pingsan dan demam.
———— ———
——— ——— —— Debat Soal Tuhan dan Kebenaran Source : Posmo No. 2 – 25 Maret 1999
Debat
sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan
tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah karena tidak jelas
agamanya.
Quote:”
Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini
kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan
kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang kuminai air itu perawan desa.”
Buta
Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Quote:Salah yang tak seberapa,
apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh
banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman
berat karena merusak daerah.
[PS :
Lihat peristiwa Muhamad menyuruh pengikutnya menyerang suku Yahudi di Medinah,
Bani Qaynuqa, gara2 seorang wanita Muslim diganggu oleh seseorang anggota Bani
Qaynuqa. Ini dipakai Muhamad sbg alasan utk menyerang dan mengusir Bani Qaynuqa
dari tanah nenek moyang mereka itu. Sifat Muhamad ini dicontoh Sunan Bonang :
cepat naik darah, tidak seimbang, tidak memiliki maaf, sombong, selain licik dan
haus kekuasaan. Pengusiran Yahudi dari Medinah oleh MUHAMAD, 4 artikel
http://www.indonesi a.faithfreedom. org/forum/ viewtopic. php?t=2720 ]
Sunan
Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Ketika Buta
Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul :
Quote:” Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara. Itu pantas diucapkan
oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan kesaktian.
Janganlah
sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat
sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab.
Meskipun
di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik
budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang2 baik budi bila
tetap berbuat demikian.
Apakah
tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil ? Aji Saka menjadi raja di
Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang.
Ia Hindu. Suka membuat sulit air.
Tuan
mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi
ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak
tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu ?
Jika
memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat kebajikan. Tuan
menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah
menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di
dalam air mendidih.”
Hamba ini
bangsa mahluk halus, tidak selam dengan manusia, tetapi hamba masih
memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan
kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba
mohon agar dikembalikan. Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh
supaya mati. Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut
Selatan.”
Begitu
mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia
berkata, Quote:” Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku.
Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai
ini dapat kembali seperti semula.”
Buta
Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya. Quote:”
Kembalikan sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat.”
Sunan
Bonang : Quote:” Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke
timur.
Buah
Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang
berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang
ada di daerah dan kesedihan manusia dengan setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah
sambi menjadi dua macam, daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan
minyak sebagai lambang muka yang masam.
Tempat
perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa
Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran.”
Debat
Soal Tuhan Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur
sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal,
Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah
kemudian menemukan akal.
Buta
Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang
berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang
berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu
dipenggalnya.
Ketika
Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin
bertambahlah kemarahannya. Quote:” Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai
lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat
arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.
Sunan
Bonang pun berkata, Quote:” Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani berdebat
dengan manusia, namanya hantu yang sombong.
Kata Buta
Locaya, Quote:” Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Hantu,”
Sunan
Bonang berkata, Quote:Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan
kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.
[Ki
Kalamwadi berkata : " Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama
kentios karena ucapan Sunan Bonang. Semua itu menurut cerita guruku menurut
cerita guruku bernama Raden Budi.]
Sunan
Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan
bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba. Sumur itu kemudian digulingkan.
Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai
sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling.”
Setelah
salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung
raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan
berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak
oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat
patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu
tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika
dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu
kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta
Locaya marah lagi. Quote:” Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik
dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu
Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu ?”
Sunan
Bonang : ” Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak
diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak
lahir batin.”
Kata Buta
Locaya, Quote:” Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak
berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan,
diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat
menghasilkan untuk manusia.
Para
hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ? Telah lazim
setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan
harum, hantu akan merasa nyaman.
Lebih senang
lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah
pohon besar.Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia.”
Sunan
Bonang Khilaf. Buta Locaya berkata, Quote:” Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan
? Mendapat wahyu agar pandai. Cermat penglihatannya, mengetahui hal-hal yang
belum terjadi.
Sedangkan
yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan
wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui
hal-hal yang belum terjadi. Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun berpedoman
petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai
kabar dari leluhur sendiri dengan peninggalan masih bisa disaksikan.
Pulau
Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah
air. Apa saja ditanam dapat tumbuh.
Pria
tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan
ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur.
Seandainya tidak benar, pukullah.
Yang
membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu
yang belum terjadi ? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini. Bila
menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami
keroyok. Dapatkah tuan menang ?
Lalu akan
hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ? Inginkah tuan
tinggal di Batu seperti hamba ? Mari ke Selabale menjadi murid hamba.”
Sunan
Bonang : Quote:” Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan.”
Buta
Locaya berkata, Quote:” Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi
selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba.
Tekat
tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering
melakukan kesalahan menentang adat, menentang agama, merusak kebaikan,
mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado.”
Sunan
Bonang tak menggubris. Ia berkata : Quote:” Dadap ini bunganya kunamai celung,
buahnya bernama kledung, karena aku kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah
bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan
pemikiran. [ Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung.]
Sudah, aku akan pulang ke Bonang.”
Buta
Locaya berkata, Quote:” Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan
membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan,
menyebabkan mahal air, dan mengurangi air.”
———— ———
——— ——— ——— ——— —- Tak Setuju Serbu Majapahit, Syech Siti Jenar Dibunuh Source
: Posmo No. 3 – 1 April 1999
Prabu
Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya surat
dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan
di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono,
meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan semua yang
telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah
mengembara tak tahu kemana.
Berikut
babak lanjutan dari Serat Darmogandhul.
Saking
murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa
pergi. Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan
menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh.
Pernyataan
tersebut juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun
tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri.
Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka,
diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Menyadari
kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang mengajak Sunan
Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak (putera PB
alias Raden Patah) dan mengajak menyerbu ke Majalengka.
Kata
Sunan Bonang (Muslim tulen yg penuh akal bulus itu), Quote:” Ketahuilah, kini
saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut
pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah Kraton Majalengka
dengan cara halus.
Jangan
sampai ketahuan. Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan
senjata perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya.”
(Baca
cerita2 Modus Operandi Jihad Islam diseluruh dunia di [u]Resource Center ttg
Jihad di forum ini. Inilah cara Muslim mengakali musuh mereka : dgn cara tipu
daya.[/u])
Provokasi
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti
saran Sunan Bonang.
Quote:”
Saya takut merusak negeri Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan seorang
raja yang telah memberikan kebahagian dan kebaikan di dunia. Kata kakek saya di
Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski beragama Budha atau pun
kafir.”
Mendengan
jawaban demikian, Sunan Bonang berkata, Quote:” Meskipun melawan ayah dan raja,
tidak ada jeleknya kerena dia kafir. Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.
Kakekmu
itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar. Seberapakah pengetahuan
santri Ngampelgading. Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku, Sayid
Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan
semua umat Islam.
Meski
kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa masuk
Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.
Tuhan
masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu.
Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu artinya tidak baik. Hidup hanya
untuk mati. Benih Jawa yang dibawa Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya
Damar, Bupati Palembang, orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya.
Ayahmu tetap berhati tidak baik.
Karena
itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah
darahnya, kunyahlah tulangnya.”
Kemudian,
Sunan Giri (juga seorang Muslim tulen yg penuh dgn akal bulus) menyambung,
Quote:” Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku
tidak menghadap ke Majalengka. Katanya, bila aku tertangkap akan diikat
rambutku dan disuruh memandikan anjing.
Banyak
orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan. Sebab, menurut
Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga.
Kedatanganku
ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan ayahmu yang
sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan pagi dan
sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini.”
Jawab
sang Adipati Demak, Quote:” Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan Sunan
mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja
yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena
Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa.”
Namun,
Sunan Bonang berkata lagi, Quote:”Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi.
Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan kepada
Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua. Atau kepada menantunya, Ki
Andayanigrat di Pengging.
Kamu anak
muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati sabilillah, mati
menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir. Aku
sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu sebagai
raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama
Budha.”
Panjang
lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan mau
merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan
orang tuanya karena kafir.
Syech
Siti Jenar Dibunuh Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di
pesisir utara datang semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid.
Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan. Usai sembahyang
pintu masjid ditutup.
Sunan
Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak akan
dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Bila semua setuju akan
segera dimulai. Semua sunsn dan bupati setuju.
Hanya
Syech Siti Jenar yang tidak. Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech
Siti Jenar. Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
[Satu
lagi tindakan Islami para Sunan yg mencontoh kelakuan nabi! Bunuh mereka yg
tidak sepaham dgnmu, karena itu dianggap melawan nabi dan melawan Islam]
Setelah
sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar
Senopati Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat.
Esok
harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang
berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati. Berjalan berarakan
seprti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain
para tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan
Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia. Keduanya
hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan. Bagaimana cerita di
perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.
PERANG
MAJAPAHIT vs DEMAK Alkisah, sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil
penaklukan terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama
Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya berjumlah
tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang berkepala gundul,
berpakaian serba seperti haji.
Dalam
berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit
menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu
menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal.
Pasukan
Giri melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke
Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang
yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke
Majapahit.
Maka Sang
Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan
Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan
Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan
perang.
Sang
Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim
ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat
terkenal (Menak Tanjangpura), mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah
menobatkan diri sebagai Raja Demak.
Sedangkan
yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di
Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja baru itu
bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul
Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya
berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah kepada Patih
cara menghadap kepada raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun
Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih sedih sekali,
menggeram sambil mengatupkan giginya.
Sangat
heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya,
kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu.
Mendengan
laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata.
Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan
seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak
Majapahit.
Sang raja
tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya
penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan
perbuatan jelek mereka itu.
Pikiran
sang raja sangat gelap. Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis
dimakan kutu babi hutan.
Sang
Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan para ulama
serta bupati tega melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak mengerti. Ki Patih
juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi kebaikan membalas
dengan kejahatan.
Kemudian,
Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang
meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah terpikat
kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyeberkan agama Islam.
Dari
kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam. Quote:” Kumohonkan kepada
Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah
agamanya, menjelma menjadi orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi
kebaikan membalas dengan kejahatan.”
Sabda
sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad. Terbukti
dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai sekarang, ulama
terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang
kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta
pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai
Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik
pun tentu akan diberikan karena Raja telah lanjut usia.
Patih
menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan
sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan
Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju
berperang.
Setelah
memerintahkan demikian, sang Prabu meloloskan diri pergi ke Bali diikuti
Sabdopalon dan Nayagenggong. Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah
mengepung istana. Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.
(
bersambung )
Dan
gending gamelanpun semakin seru …
http://www.freelist
s.org/archives/ ma…/msg00068. html
Cuma itu
artieklnya , Sambungannya lagi gue cari tapi kalo ada cuma pake bhs Jawa dong.
Jika ingin tahu lanjutannya , silahkan buka situs di bwh ini :
http://www.jawapala
ce.org/darmagand ul.htmlhttp://www.indonesi a.faithfreedom. org/forum/
viewtopic. php?t=884
http://pasundan.
homestead. com/files/ Sejarah/sejarahf rame.htm JAMAN PAJAJARAN (1482 – 1579)
RAJA RAJA
PAJAJARAN
1. Sri
Baduga Maharaja Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja
(Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 thn (1482 – 1521). Pada masa inilah
Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Di Jawa
Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama PRABU SILIWANGI. Nama Siliwangi
sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun
1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai
versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari
segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya
dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para
pujangga Sunda).
…
Untuk
mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita
telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Cerita
Parahiyangan
Dalam
sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:
“Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor
kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba
di sanghiyang siksa”
(Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang
tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan
ajaran agama)
Dari
naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu banyak rakyat Pajajaran yang
beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut “loba”
(serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang
baru.
b.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah
ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404
Saka, penguasa CIREBON, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang
seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu
Sri Baduga dari permaisuri, Lara Santang.
Ia
dijadikan raja oleh pamannya (Pangeran Cakrabuana), yg ternyata putera Sri
Baduga (!) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika
itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di
Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut kerajaan Islam
DEMAK yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya
serangan Pajajaran.
Tumenggung
Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya
Jagabaya menghamba dan masuk Islam. (Dibawah paksa ?)
[Komentar
: Ini berarti, bahwa tanpa sepengetahuan Sri Baduga, puteranya (Cakrabuana)
& cucunya (Syarif Hidayat) dari Cirebon bersekongkol dgn DEMAK menentang
kerajaannya. Jadi : Pajajaran vs Cirebon + Demak, ayah vs putera & cucu +
Demak.
Utk lebih
jelasnya ttg kerajaan Demak, lihat asal usulnya di SERAT DARMOGHANDUL : Proses
Islamisasi Nusantara Sebenarnya http://www.indonesi a.faithfreedom. org/forum/
viewtopic. php?t=4664&postd ays=0&postorder=asc&start=0 ]
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh
PUROHITA (pendeta tertinggi) keraton KI PURWA GALIH. [Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah
sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang) .
Cakrabuana
sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa
Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh
Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan
itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]
Demikianlah
situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat
dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan
parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasi tempur).
[Pajajaran
adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. Menurut sumber
Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit.
Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki 6 buah JUNG (perahu layar gaya Cina) dari 150 ton dan beberapa
LANKARAS (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan
kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]
Keadaan
makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan
putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu
1.
Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi) 2. Ratu Ayu dengan
Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II?) 3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu
Pembayun 4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512,
ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis ALFONSO
d’ALBUQUERQUE di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai).
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga
karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara
Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan
SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAHAN. Paling tidak : BELUM utk sementara ini. (Baca terus
!)
Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan
terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena
salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah muslimah dan ketiga anaknya
(Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang dan Raja Sangara) diizinkan
sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena
permusuhan tidak (belum) berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka
masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah
pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita
Parahiyangan) .
Tome
Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of
Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan
Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica
bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin
(asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Sri
Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan
disebut SUSUHUNAN di PAKUAN PAJAJARAN, memerintah selama 39 tahun (1482 –
1521). Ia disebut SECARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG) RANCAMAYA karena
ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai khusus Rancamaya). [Rancamaya
terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata
air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs
makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus
dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon
Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa
ini seluruh situs sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami
ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di
dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan
bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi
huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah
dipopulerkan orang sebagai MAKAM WALI. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah
Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang
"dijual" orang sebagai "makam Raja Galuh".
------------
--------- --------- --------- --------- ---
Dlm
lanjutan di BAGIAN 2 dibawah ini, lihatlah bgm FATAHILLAH memangsa orang satu
kulit sendiri!!! Hanya karena ISLAM!!!... setelah memangsa HINDU... ISLAM pun
saling beradu sendiri mencari kemenangan sendiri-sendiri! !!!
NGERAKEUN!!!
! kumaha yeuh jelma anu ngaku SUNDA? MAUNG PAJAJARAN aseli NA LAIN ONTOHOT
JEUNG BEBEGIG ISLAM...!!!! http://pasundan. homestead. com/files/
Sejarah/sejarahf rame.html
2. Raja
Surawisesa (1521 - 1535)
Pengganti
Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga
cucu Prabu Susuktunggal) . Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan
"kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan
"kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15
kali pertempuran. Pujian penulis Cerita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara
Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus
ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia
pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah
kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome
Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis
yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam
kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai
perdagangan dan keamanan.
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan
Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang
harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda.
Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000
karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua
"costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian
Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan TRENGGANA (Sultan Demak III). Selat
Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis
yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu
masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur
perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggana
segera mengirim armadanya di bawah pimpinan FADILLAH KHAN yang menjadi Senapati
Demak. [Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana.
Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II).
Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu
Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung
keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya BARKAT ZAINAL ABIDIN adalah adik NURUL
AMIN (kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah). Selain itu Fadillah masih
terhitung cucu SUNAN AMPEL (ALI RAKHMATULLAH) sebab buyutnya adalah kakak
IBRAHIN ZAINAL AKBAR ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden
Patah (Sultan Demak I).
Barros
menyebut Fadillah dengan FALETEHAN. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk
Fadillah Khan.
Pasukan
Fadillah (& Pangeran Hasanudin) merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon
berjumlah 1967 orang.
Sasaran
pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah
didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin
dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten
terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke
ibukota Pakuan (di kerajaan PAJAJARAN).
Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526).
Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut
pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang
bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul
mundur. (!! Mulai berani menyerang pasukan Pajajaran !!) Keunggulan pasukan
Fadillah terletak pada penggunaan MERIAM yang justru tidak dimiliki oleh Laskar
Pajajaran.
Bantuan
Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun
benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda
dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi
peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini
diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke
Sunda bertolak dari Malaka.
Mula-mula
menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan
dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao
pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa
Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin
(dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat
mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan
menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban
yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun
1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan
tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan,
maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah
Sri Baduga wafat, Pajajaran dan kerajaan musuhnya, Cirebon, berada pada
generasi yang sejajar. Yaitu : Surawisesa (putera & pengganti Sri
Baduga)dari Pajajaran vs kakak lain ibu, Cakrabuana, dibantu oleh keponakannya,
Syarif Hidayat, dari Cirebon.
Meskipun
yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran
Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula HAJI ABDULLAH IMAN). Cakrabuana
adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon
menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang. Mulailah
episode perang sipil berikutnya, dgn Islam di latar belakang, menunggu dgn
sabar utk menundukkan rakyat Indonesia kpd Islam dibawah ujung pedang.
[Cirebon
sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya
menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke
Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul
dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal
inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh
Banten di kemudian hari]
Perang
Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke
darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya
berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon
bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran
dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sinipun terlihat peran Demak karena
kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan PASUKAN MERIAM Demak tepat pada saat
pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah
besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta
memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam.
Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng
terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang
masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya PANGERAN SANTRI
menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. [Pangeran Santri adalah
cucu PANGERAN PANJUNAN, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah
SYEKH DATUK KAHFI pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati
karena pernikahannya dengan SATYASIH, Pucuk Umum Sumedang. Secara tidak resmi
Sumedang menjadi daerah Cirebon]
Dengan
kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan.
Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan
Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan
mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara
Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara
merdeka.
[Di pihak
Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran PASAREAN (Putera
Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten)]
Perjanjian
damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam
negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakan, ia berkesempatan
menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal
setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya
Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang
setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam
suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai
dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat
terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya
karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang
diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat,
ia membuat SAKAKALA (tanda peringatan buat ayahnya).
Ditampilkannya
di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. ITULAH
PRASASTI BATUTULIS yang diletakkannya di KABUYUTAN tempat tanda kekuasaan Sri
Baduga yang berupa LINGGA BATU ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa
sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin
agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca)
orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah.
Demikianlah,
BATUTULIS itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri LINGGA BATU.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua
buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi ASTATALA ukiran jejak tangan, yang
lainnya berisi PADATALA ukiran jejak kaki. [Mungkin pemasangan batutulis itu
bertepatan dengan upacara SRADA yaitu "penyempurnaan sukma" yang
dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang
yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi].
Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti
sebagai SAKAKALA untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di PADAREN. Diantara
raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah
tradisional, baik babad maupun pantun. [Babad Pajajaran atau Babad Pakuan
sebenarnya mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan)
dengan gaya cerita Panji].ANALISA:Kedatangan Islam ke Indonesia mempunyai dua
tujuan. 1. Islam expanssion sesuai hangatnya gerakan islam pada waktu itu. 2.
Ekonomi, yaitu mengambil rempah2 langsung dari sumbernya. Sebelumnya Arab
mengandalkan pada pedagang2 Hindu dari India.
Methodnya:
Arab2 ini menyaru sebagai pedagang2(merchant) dengan pertolongan Muslims India
yang tahu routenya. Seperti Terroris, Arab2 ini mulai menetap dikerajaan2 kecil
Hindu pantai Lalu setelah banyak anggotanya, mereka mulai menyebar terror dan
menaklukan kerajaan ini dan terus menterror sampai kepedalaman. Sementara itu
pribumi2 yang dipaksa masuk islam menjadi bibit virus. Apa lagi methodnya
menjarah merampok. ini memberikan insentive untuk memeluk Islam. Setelah banyak
tanah dikuasainya mereka mulai memerangi sam bil menterror Kerajaan2 Hindu
dipedalaman.
Kerajaan
Pejajaran tidak mau masuk Islam, maka kerajaannya dihancurkan, ternyata sedikit
sekali peninggalan2 kerajaan ini. Bahkan tak ada satu candinya terdapat.
Padahal bagi kerajaan Hindu Candi itu sangat penting. Borobudurpun dimusnahkan,
untungnya bangunannya terlalu besar dan susah merusak lapisan batu2. Walau
demikian runtuhan Borobudur ditemukan oleh seorang archaelogy Jerman, lalu
dipulihkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Rakyat
pegunungan tengger adalah sisa masyarakat Hindu Jawa yang lari kepegunungan
untuk mengindari Expansi Islam.
Melihat
cara taleban, saya yakin Islam masuk keIndoneisia dengan paksa. Sebelum
masuknya Islam Masyarakat Jawa mempunyai cara tulisannya sendiri dan bahasa
kuno Kawi. Islam menghancurkan kesasteraan Jawa digandi dengan bahasa Arab dan
kebudayaan Arab.
Ksimpulannya
Arab adalah penjajah, payahnya mereka memaksa agama Islam kepada penduduk
Indonesia, dengan demikian penjajahannya sangat melekat dalam jiwa Muslims
sehingga tak dapat merasa lagi akan penjajahan rohani. Sedangkan penjajahan
Eropa belanda bermotif politik dan dagang. makanya bisa diachiri. BUT islam
sudah nempel seperti parasite.
Dalam sebuah
buku mengenai pulau Jawa, saya baca laporan seorang Eropa yang pertama
mengujungi Jawa , menggambarkan. Bahwa pulau jawa adalah sebagai
firdaus(paradise) . Dia mengatakan bahwa penduduknya sangat ramah.
kebudayaannya sangat colourful (beraneka) Dia juga menuliskan bahwa penduduk
Jawa memberikan mereka(tamu Eropa) logistik makanan dan hewan (live stock)
untuk perjalanan mereka dengan kapal laut.
Saya
bayangkan wah betapa tenteram dan indahnya pulau jawa pada waktu itu. Bayangkan
saja pulau Bali sebuah miniatur pulau Jawa yang mempunyai banyak candi2 yang
megah.
Waktu
saya kunjungi Madras, India, saya lihat banyak Candi2, lalu dipasar tercium
wangi bakaran dupa. Bukan kemeyan. Kemeyan itu adalah berasal dari Arab. Gua
ngga suka baunya anyway. Melihat ini semua saya bayangkan mungkin
Indonesia/pulau Jawa dalam keadaan begini.
But
sialnya Islam merubah itu semua. kalau para fanatik berhasil menetrapkan
Syariah. Kita bisa lihat masyarakat Indonesia jadi seragam seperti jurig hitam.
laki2nya pakai jenggok kambing dan pakai Turban. Manitanya kaya hantu hitam.
seragam tak punya muka hanya pintu kcil bagi mata.
Tak
bedanya dengan taleban atau negara kommunis cina dulu.
Inikah
yang bangsa Indonesia harapkan dari Islam? Bagaimankah jadinya kalu tambang
minyak dan gas habis? MOHTAR LUBISIslam masuk Indonesia secara damai ? Tidak,
kata Mohtar Lubis dibawah ini.
Ceramah
Mohtar Lubis tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, berjudul “Situasi
Manusia Indonesia kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai Manusia” diterjemahkan
dalam buku “The Indonesian Dilemma”.
“Sesuatu
terjadi dlm sejarah perkembangan rakyat Indonesia. Pada masa JAHILYAH (masa
pra-islam), ketika nenek moyang kami masih hidup secara primitif, orang2 Batak
dan Lampung sudah memiliki bahasa tertulis. Berbagai sistim sosial juga sudah
eksis.
Memang
ada nilai2 yg tidak lagi dianggap cocok bagi jaman sekarang. Contoh, praktek
Batak Tua, orang Kalimantan dan Irja memakan musuh yg tewas dalam perang.
Tetapi
mencap jaman itu sbg JAHILIYAH juga tidak tepat. Pada saat itu, bahkan sebelum
timbulnya Hinduisme, orang Jawa sudah mengembangkan sistim sosial yg
‘sophisticated’. Ada desa2 yg sudah dapat mengatur diri sendiri dan unit2
sosial kecil yg diperintah secara demokratis. Juga sudah ada sistim desa di
Minangkabau dan pemerintah di Mandailing dimana raja dianggap bapak rakyatnya.
Tentu, ada saja orang yg menyelewengkan kekuasaan.
…
Dgn
timbulnya Hinduisme, kreativitas membaik di Sumatera, Jawa dan Bali. Pengaruh
Islam dan Kristen (Protestan) yang datang kemudian mengekang kreativitas
artistik ini secara drastis – khususnya dlm seni memahat patung yg marak
dijaman agama kuno Indonesia. Ketika kaum Paderi MENYERANG orang Tapanuli di
Sumatera, MENYEBARKAN ISLAM DENGAN UJUNG PEDANG, mereka MENGHANCURKAN BENDA2
UKIRAN TERINDAH DI INDONESIA DAN MELARANG PEMBUATAN KARYA2 BARU.
Dgn
menyebarnya Islam di Jawa, penduduk asli MENGUNGSI KE BALI, membawa agama asli
dan bakat2 artistik mereka. Di Irian Barat, gereja (protestan) menantang
pembentukan patung2 baru, tetapi misionaris Amerika disitu, yg juga pedagang
ulung, TIDAK MEMBAKAR ATAU MENGHANCURKAN PATUNG2 YANG ADA (berbeda dgn Muslim).
Sebaliknya, mereka menjualnya ke AS. “Terror Agama Islam Mazhab Hambali di
Tanah Batak Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak oleh: Batara R.
Hutagalung
Perang
Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat,
dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis,
yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal
dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh
wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang
dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa
budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip
dengan yang terdapat di India hingga sekarang.
Masuknya
agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh
Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat,
timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada
konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat
meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah
Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.
Selama
berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan
kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan,
Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan
dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat
kejam.
Sebelum
masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu
Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di
Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada
abad 14 berkembang aliran Tantra �aivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun
1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama
Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom
Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga
di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir
ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang
melarikan diri sampai Malaya.
Penyerbuan
Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap
dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam
satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.
Ketika
bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan
tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun
tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti
Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara.
Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan
anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar
menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan
satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang
pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan
dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat
yang mereka inginkan.
Dalam
perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan
Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti
tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga
mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara,
meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran
tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar
mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk
semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba
Dibanua dan seluruh keturunannya.
Dendam
ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger
Siregar �yang datang bersama
pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal
kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Ibu dari
Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX
sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari
Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra
Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil
hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran
Gindoporang Sinambela.
Gana
Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai
anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan
keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga
Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi
orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.
Singamangaraja
X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan
Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro
forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan
Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.
Namun
kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datuk (tokoh spiritual) yang
dipimpin oleh Datuk Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa
Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh
karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai
hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan
yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak
dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat
pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi
Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun
dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat
Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang
perak ke balik pakaian Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh
para Datuk, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
Tubuh Rao
yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke
air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan
pada kayu, Rao berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat
Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.
Setelah
bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Rao memutuskan untuk pergi
ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang
yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di
Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat
kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin,
Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan
penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah.
Haji
Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan
tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk
mengislamkan Mandailing.
Tuanku
Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai
nasib dan silsilah dari Rao. Ia memperhitungkan, bahwa Rao yang adalah
keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut
dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk
Bandaharo agar menyerahkan Rao kepadanya untuk dididik olehnya.
Pada 9
Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat,
Rao diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut
diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip
juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:
Batak!
Penyebaran
Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan
Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh
keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh
Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.
Hanya
beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang
Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian
meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri,
dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.
Umar
Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun
1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri
janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi
dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik
divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang
Tanah Batak.
Penyerbuan
ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan
terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang
dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng
Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun.
Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan
rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah
Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan
Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri.
Selain
kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan
Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik
Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung),
Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan
Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger
Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan
terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819.
Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut
dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan
membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja
X.
Jatengger
Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah
berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan
Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di
atas kuda.
Duel yang
tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal
oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26
generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan
ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra
Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja
memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 � 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah
itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di
tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk
semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.
Penyerbuan
pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan
epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah
Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian.
Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena
berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao
bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam
Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak,
untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Ketika
keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap
perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari
Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.
Enam dari
panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan,
Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun
1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan
menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan
Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka
sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah
Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada
Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah
Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur
Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas
menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan
Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung
mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan
Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas
dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo
(Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh
Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
———— —-
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang
Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Pongkinangolngolan,
Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung
Pengharapan, Jakarta, 1964.
Tuanku
Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan (
hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O.
Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil
penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen
Poortman. Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku
tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan
oleh Tuanku Lelo tersebut.
Mayjen
TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak
mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak.
Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik.
Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater
Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut.
Pepatah Fajar K dari link Laurent yg diatas itu :
Kalau
dari buku sejarah resmi yang kita semua sudah pelajari ya Islam masuk Indonesia
lewat jalan damai dong?! Malah itu yang sering dibanggakan oleh intelektual
muslim sini: Islam masuk ke Indonesia lewat jalan damai tidak seperti di luar
negeri.
Betul
bang ! Begitu kita di luar negeri, mata kita terbuka oleh banjirnya informasi
yg tidak disensor pemerintah, termasuk oleh pemerintah Indonesia. Biar mampus !
Sekarang kebenaran semakin terkuak.
Bagi
mereka yg cuma mau percaya informasi resmi yg membagus2kan Islam, SILAHKAN ! Tapi
arus informasi tidak lagi bisa dibendung KERIS: lambang peradaban Melayu
(pra-Islam) yg dihancurkan Islam.
Lama
sebelum keris direndahkan statusnya menjadi benda mati tidak berarti, auranya
sbg benda sakral sudah dihancurkan oleh Islam-Dr Farish Noor
http://www.kakiseni
.com/articles/ columns/MDExMg. html Dari Majapahit kpd Putrajaya: Keris adalah
lambang Berkembang dan Matinya Peradaban (Bagian 2) Dari barang mewah menjadi
senjata: De-mistifikasi Keris dlm Dunia Islam.
Islam
tidak hanya menggantikan para dewa dan dewaraja peradaban kuno. Islam juga
mengambil alih hak cipta keris.
Salah
satu contoh paling nyata dampak radikal Islam terhdp dunia Indo-Melayu adalah
terhdp budaya istana[/b]. Jaman kebesaran Hindu-Buddha yg diwarnai oleh
romantisisme dan fantasi, secara bertahap diwarnai prosa kering Muslim dgn
cerita2 pahlawan yg lebih berkisar di bumi. Naratif2 ‘made in Arab’ ini
memberikan dunia Melayu lambang2, tokoh2 dan metafor baru yg sama sekali asing
dari budaya asli.
Kerajaan2
yg ada berupaya kuat menahan gelombang perubahan ini, mencoba menjaga
kesinambungan aura mistik dan misterius kerajaan masa lalu. Dlm naratif
pro-Kerajaan Sejarah Melayu misalnya, kami mendapat cerita2 hebat ttg keris2nya
Hang Tuah yg bernama keris Tameng Sari yg mampu terbang ke angkasa memantau
bajak laut dan kapal2 musuh.
Setelah
datangnya para pemikir Sufi Melayu spt Hamzah Fansuri, Shamsul-din Pasai dan
Abdul-Rauf Singkel, dongeng2 metafisik Islam mereka terbukti jauh lebih
destruktif terhdp rejim Dewaraja Indo-Melayu. Menariknya Islam, spt yg
diajarkan para Sufi kpd para calon2 pengikut adalah tujuan menjadi
insanu’l-kamil (manusia sempurna), sesuatu yg bisa dicapai rakyat maupun Raja.
Keduanya tiba2 menjadi sederajad. Tidak lagi ada hirarki kraton. Pihak Sufi
juga mengajarkan bahwa LOGIKA/nalar adalah universal, dan oleh karena itu semua
Muslim sama rendah/tinggi dihadapan Tuhan. Spt yg dinyatakan Al-Attas : Dlm
interpretasi Islamnya Sufi, `esensi manusia adalah bahwa ia rasional dan
rasionalitas adalah hubungan antara dirinya dan realitas.’ Konsep2 persamaan
derajad spiritual ini memberi orang awam rasa harga diri persamaan sederajad
dgn kaum ningrat.’
Pukulah
Islam paling radikal terhdp era pra-Islam ini adalah demitologisasi dunia
Melayu secara bertahap. Ini dampak Islam yg paling mengubah pandangan
Indo-Melayu. Ismail Hamid mengatakan `Islam mengakhiri sistim kasta Hindu’ dan
`sbg gantinya, Islam menerapkan konsep `demokrasi” (??) yg didasarkan pada
persamaan derajad semua Muslim (!) didepan Tuhan. Jadi lewat tasawuf (metafisika
rasional) Sufi dan Ulama, elemen2 indah budaya Indo-Melayu terkikis.
Pada
akhirnya, para pakar Muslim, Sufi, penyair dan sejarawan berhasil MENYUSUN
KEMBALI DAN MENCIPTAKAN KEMBALI cara berpikir bangsa Melayu sedemikian rupa shg
bahkan elemen2 esoterik KERISpun tidak selamat dari serangan2 para revisionis
ini.
Akibat
Islam dan perubahan dlm masyarakat Muslim-Melayu, pembuatan keris menjadi hal
yg umum, dan akhirnya dibawa keluar dari perbatasan istana. Hamzuri menulis
bahwa dari periode Mataram (antara abad 15-17), produksi keris menjadi bisnis
masal. Pada saat era Jogya-Solo (setelah Perjanjian Giyanti th 1755), `produksi
keris menjadi universal, dan tidak lagi monopoli empu istana. Timbul empu2 dan
tukang2 pandai besi yg meninggalkan Jawa dan pindah ke Sumatera dan jazirah
Melayu karena memburuknya keadaan politik dan sosial di Jawa.
Pada abad
16-17, pembuatan keris tersebar diseluruh dunia Melayu dng pusat2 produksi spt
Patani, Kelantan, Aceh, Melaka, Minangkabau, Palembang, Bantam, Demak, Jogjakarta,
Surakarta, Bali, Makassar, Goa, Banjarmasin, Mindanao dan kepulauan Sulu.
Akibatnya,
timbullah kelompok2 dan kelas2 sosial baru; tuan tanah, pedagang dan Muslim2
kelas buruh. Proses ini juga mengakibatkan kurangnya penghargaan bagi keris
karena semakin mudah terjangkau oleh kelompok2 sosial baru ini. Keris
dipopulerisasi dan di-vulgarisasi. (Yang sangat membuat geram kelas2 ningrat
tradisional) .
Belum
lagi kedatangan kaum Ferenggi (Kristen) dgn maksud dagang ke wilayah
Indo-Melayu, yg oleh Islam dianggap sbg musuh bebuyutan. Kini diperlukan
senjata yg lebih efisien dan bukan sekedar pajangan. Dari lambang sakral dan
obyek mewah yg berstatus, keris menjadi senjata yg bisa dipakai utk membunuh.
Terjadilah modifikasi terhdp bentuk keris, spt keris2 yg lebih panjang (Keris
Sundang-nya kaum Moro dari Flipina Selatan dan Keris Bahari dari Sumatra).
Bagian
hulu (bagian kayu) juga menghadapi evolusi. Muslim2 tulen keberatan atas
pelambangan dewa2 Hindu dlm wayang dan hulu2 keris. Dan mereka mengubahnya dari
ukiran2 dewa menjadi ukiran mahluk2 berburuk rupa’.
Garuda yg
tadinya menjadi tumpangan dewa Wisnu, diturunkan statusnya menjadi pekaka.
Bentuk2 ukiran para dewa dan mahluk2 kurawa masa lalu diganti dgn kaligrafi
arab, pola2 bunga dan geometris yg akhirnya semakin mengIslamkan kepulauan
Melayu ini dlm abad2 mendatang.
Di
daerah2 spt Patani dan Kelantan dimana penampakan Wisnu-Garuda terlalu kuat,
sosok Garuda dimodifikasi sedemikian rupa sampai menjadi bentuk tubuh setengah
manusia yg berjongkok dgn sayapnya dicabut.
Sementara
produksi keris di jaman Hindu-Budha dipengaruhi elemen2 religius dan legenda2,
produksi keris di jaman Islam menciptakan rumus2, perbendaharaan, tabu dan
kode2 jimat baru.
Jadi,
pengakuan Islamis bahwa Islam menghapuskan dongeng2 dan takhyul2 jaman
pra-Islam adalah omong kosong. Justru mereka menambahkannya lapisan takhyul
baru pada sistim kepercayaan orang Melayu yg sudah sarat dgn kepercayaan
pra-Islam. Investigasi atas upacara pembuatan keris dijaman Islam menunjukkan
bahwa pengaruh pra-Islam masih nampak, Islam hanya menambahkan lambang2, kode2
dan jimat2 Islami.
Dan
setelah di-demitologisasi, di-popularisasi dan di-sekularisasi, Keris masih
juga harus menghadapi hantaman `modernisasi. ‘
———— ———
——— —- Dari Majapahit – Putrajaya: Keris sbg lambing Perkembangan dan Matinya
Peradaban (Bagian 3-selesai)
… Muslim
ingin sekali menghilangkan segala jejak budaya pra-Islam.
Abad ke
19 menyaksikan serangan yg paling keras, tidak hanya terhdp gaya hidup kaum
ningrat, tetapi juga terhdp budaya dan nilai2 mereka. Semangat para haji yg
memimpin Perang Paderi di Minangkabau, th 1821-1832 ditujukan utk memerangi
adat yg dianggap tidak Islami dan oleh karena itu harus di-eradikasi.
Semangat
ini juga ditunjukkan para Ulama yg memimpin Aceh melawan Belanda dlm perang
sangat parah; Perang Aceh, 1873-1912. Juga oleh para jendral Muslim yg memimpin
kaum Moro melawan musuh Spanyol di Filipina Selatan.
Kaum Muda
abad ke 19 berikutnya yg nasionalis dan aktivis menyerang upacara2 adat spt
upacara nikah tradisional, upacara pencukuran rambut bagi bayi, upacara
penguburan dan upacara persembahan pada dewi laut, Nyai Loro Kidul.. Akibatnya,
kepercayaan kpd KERIS juga mengalami nasib naas yg sama karena dianggap sbg
benda memalukan yg mengingatkan Muslim pada jaman `jahiliyah,’ jaman dimana
Muslim belum Muslim sejati.
Lembar
mata uang 50-Ringgit Malaysia yg pernah menyandang gambar Keris Tajong, kini
dihias dgn gambar kilang minyak.
Di jaman
modern ini, Keris merupakan sebuah fenomena yg tidak dimengerti dan bahkan bahan
tertawaan. Salah satu kontroversi keris menyangkut monumen besar berbentuk
keris buatan Eropa dan dipamerkan diluar stadion nasional diluar Bukit Jalil,
Selangor, 1998. Orang2 konservatif yg pro-keris sangat kisruh dgn bentuk
monumen yg mahal luar biasa (RM 9 million) tanpa memperhatikan segi2 artistik.
Sementara Muslim keberatan karena bentuknya spt besi telanjang (padahal
seharusnya berada dlm keadaan dibungkus) dan ujung tajamnya mengarah ke langit,
yg dianggap sbg posisi agresif dan menghina (biasa �. apa2 dianggap menghina
oleh Muslim !) yg menganggapnya sbg menusuk pantat Allah.
Monumen2
keris juga menghiasi langit kota2 Kuala Lumpur, Selangor, Shah Alam dan Kelang.
Bagi Commonwealth Games 1998, sejumlah monumen keris dipesan tetapi tidak
pernah rampung. Mereka2 ini berbentuk tabung pembungkus keris (tanpa pisau dan
ujung kayunya) yg ditanam ditanah dan terbuat dari besi. Monumen ini juga
mengundang marah para kolektor dan pakar keris.
Nasib
sekarat Keris seakan melambangkan evolusi suku2 bangsa Melayu dlm dunia modern.
Terjepit antara ulama yg melulu mengutuk jaman nenek moyang pra-Islam, dgn
jaman kini yg tidak lagi mempedulikan arti dan relevansi keris. Jadi, keris
tidak lagi dapat terbang, dan terkekang di bumi spt manusianya.
Dng naik
dan jatuhnya keris, kami menyaksikan terkikisnya peradaban Melayu yg pada saat
ini sedang mencari2 jati dirinya.
Kuala
Lumpur-London, 1999 ———— ——— ——— —— Dr Farish A. Noor, orang Malaysia, Muslim,
sejarawan, pakar sains dan pengumpul barang antik. Link asli di http://www.hindu.
org/publications /ramswarup/ beyondbelief. html
Ulasan
buku V.S. Naipaul Beyond Belief: Islamic Excursions Among the Converted Peoples
(Perjalanan ke negara2 Islam dan diantara para Mukmin) by Ram Swarup
In the
Land of Converts: An Islamic Journey Di negara para Mukmin: Sebuah Perjalanan
kedlm Islam
http://www.faithfre
edom.org/ forum/viewtopic. php?t=28981
Para
Mukmin harus membuang jauh2 masa lalu mereka. Tidak ada yg dipersyaratkan dari
mereka kecuali kepercayaan yg paling murni, Islam, submisi/takluk. Islam, kata
Naipaul adalah, “IMPERIALISME YG PALING TIDAK MAU BERKOMPROMI. “
Naipaul
menemukan fundamentalisme Islam kemanapun ia pergi: di Iran, Pakistan,
Indonesia, Malaysia. Negara2 itu memiliki tingkat2 intensitas, tapi ada satu
persyaratan minimum : bahwa para Mukmin menghilangkan kepedulian mereka terhdp
negara kelahiran mereka, menolak negara2 tetangga berhala dan menganggap mereka
sama dgn wanita : mahluk inferior/rendah; membenci masa lalu pra-Islam mereka.
Prinsip
yg tidak dapat diganti adalah tabligh: bahwa mereka meninggalkan identitas lama
mereka dlm segala hal, kepercayaan, adat, nama, cara berbusana. Dan semakin
soleh pengikut, semakin banyak aturan kesolehan, spt tuntutan bagi Shariah spt
amputasi tangan/kaki, hukum cambuk dan rajam didepan umum; peraturan Muslim ttg
perkawinan, puasa dan solat.
Ini semua
tidak cocok dgn dunia modern, tidak praktis dan sering mengundang pertentangan.
Oleh karena itulah pihak fundamentalis merasa perlu utk meraih kekuasaan negara
dan memberlakukan hukum Islam secara utuh.
Kemanapun
Naipaul pergi, ia menemukan dua ciri khas dan paling menyorot. Pertama, para
mukmin mencoba menghilangkan masa lalu mereka; kedua, mereka pro-ARAB. Entah di
Iran, Pakistan, Indonesia, kemarahan fundamentalis lagi2 melawan masa lalu,
sejarah mereka, dan kesemuanya ini dibarengi dgn “mimpi bahwa agama yg benar
tumbuh karena adanya kekosongan spiritual.”
DI Iran,
keadaan sudah jauh melampau batas. Jejak2 pra-Islamnya tidak lagi dapat
dipulihkan. Iran sudah kehilangan ingatan akan masa lalu dan nenek moyangnya
dan malah malu karena masa lalu mereka itu. Iran pernah merupakan kekuatan
besar yg menantang peradaban2 perkasa spt Yunani dan Romawi. Tetapi begitu
dikalahkan Arab thn 637M, pokoknya begitu dimulainya Islam di Iran, habislah
masa lalu dan masa depan Iran. Kata Naipaul, di Iran “kesadaran orang hanya
mulai dgn munculnya Islam, dgn kekalahan itu. Malah sbg orang Iran spt memiliki
agama khusus, versi khusus agamanya Arab.” Namun demikian Islam tidak membawa
kepuasan kpd orang Iran dan sampai sekarangpun mereka tidak menganggap diri
cukup Islami.
Di
Pakistan, keadaannya sama, walau masih terlihat bekas2 budaya pra-Islam, spt
cara berbusana, upacara adat, festival dan organisasi sosial. tapi ini hanya
berarti semakin banyak PR bagi fundamentalis; dan mereka semakin hari semakin
sibuk mengingkari masa lalu mereka.
Di
Pakistan, “tanah kuno mereka tidak memiliki kepentingan religius ataupun
historis; relik2nya tidak berarti; hanya butir2 tanah ARAB yg dianggap suci.”
Konsep mereka ttg sejarah telah berubah sepenuhnya, dan perubahan ini mau tidak
mau telah menghapus kehidupan intelektual negeri tsb. Sejarah kuno mereka tidak
lagi dipedulikan; hanya sejarah Islam (yg disanitasi) yg dipedulikan.
Para
penginvasi Muslim, khususnya Arab, menjadi pahlawan2 dlm hikayat2 Pakistan.
Naipaul menganggapnya sbg “penghancuran sejarah yg keterlaluan” , sebuah
“pandangan sejarah menurut Mukmin.” Katanya, sejarah di Pakistan “menjadi titik
peka: terlalu banyak disingkirkan atau diputar balikkan; terlalu banyak
fantasi.”
Salman,
salah satu yg diwawancarainya mengeluh: “Islam tidak nampak dimuka saya. Kami
semua telah menciptakan nenek moyang Arab bagi diri kami. Kebanyakan dari kami
adalah bangsa Sayed… kalau kau baca Ibn Batuta dan para pelancong paling dini,
kau bisa merasakan sikap merendahkan para pelancong Arab terhdp mereka yg
diIslamkan.”
“Tambal
sulam ttg silsilah Arab menjadi komplet. Ini telah diadopsi oleh semua
keluarga. Jika kau mendengar orang berbicara, kau merasa bahwa tanah indah dan
subur ini tidak lain dari hutan buas yg tidak ada orangnya (yi : JAHILYAH).”
Naipaul
juga menemukan keadaan yg sama di Indonesia, yg berada pada perbatasan paling
timur dunia Islam. Negara ini dulunya menjadi bagian budaya dan religi India …
sampai datangnya Islam. Akibatnya, negara yg kaya monumen dan sejarah berhala
tidak lagi boleh diakui, bahkan tidak monumen2 Hindu-Buddhis mereka yg perkasa
spt Borobudur, salah satu mukjizat dunia.
Pihak
fundamentalis tidak suka tetapi mentolerir Borobudur. Mereka mengatakan, uang
yg dipakai bagi Borobudur sebaiknya dipakai utk memberi makan “Muslim lapar.”
Anehnya, kedubes Indonesia di Canberra mirip gedung Hindu.
Angin
penipuan ini juga bertiup di Malaysia. DLm konstitusi, seorang Melayu adalah
Muslim. Orang2 Cina, Budhis dan Hindu yg sudah tinggal secara turun temurun
dibagian wilayah itu tiba2 bukan lagi dianggap orang Malaysia dan
didiskriminasi negara dlm bidang pendidikan, pekerjaan dan kemajuan sosial.
Islam
dibarengi dgn Arabisasi. Sebelumnya Islam berbaris dgn tentara Arab, tetapi
kini, pengaruh Arab berbaris dgn Islam dlm semua hal, besar ataupun kecil.
Contoh di Iran, seorang lelaki berusia 14 tahun membuang nama Persianya,
Farhad, dan menamakan diri Maisson, salah satu pengikut dini Muhamad. Di
Malaysia, putera seorang Cina-Buddhis masuk Islam karena jatuh cinta dgn
Muslimah dan namanyapun di-arabisasi menjadi Rashid, dan menu makanannyapun
berubah. Setelah putus dgn gadis itu, namanya masih tetap berbekas.
“Islam
adalah nasionalisme Arab”–demikian Anwar Shaikh, dar Pakistan yg kini tinggal
di UK. Ibn Warraq dlm ‘Why I am not a Muslim’ mengatakan, sebenarnya bangsa
ARABlah adalah KORBAN PERTAMA ISLAM. Dibawah Islam mereka tidak hanya
kehilangan dewa2, sejarah dan nenek moyang mereka, mereka kemudian dibebani dgn
sejarah dan silsilah yg direkayasa. Orang Arab tadinya MENOLAK Islam, tetapi
karena kekalahan mereka begitu telak oleh pedang Islam dan karena mereka merasa
adanya untungan ekonomis dan politis, mereka menerimanya bulat2.
Buku ini
diakhiri dgn pertanyaan, sampai kapan bangsa2 terjajah oleh Islam ini mau saja
dibuai terus oleh AMNESIA SEJARAH ini ? sedihhhhttp://id.wikipedia .org/wiki/
Nusa_Tenggara_ Barat
Masuknya
Islam ke Nusa Tenggara Barat dan Bali
Sejarah
Merekonstruksi
sejarah Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan
menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya
terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai.
Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan
pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang
tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan.
Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan
dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl sebagal bahan pengkajlan
leblh ianjut.
Kerajaan
Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan
berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian
melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan
Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti
penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam
istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Buku
Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga
pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang.
Pertama,
disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua
di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae’ yang diperkirakan berkedudukan di
Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat
kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah kerjaan baru, yaitu kerajaan
Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun sekarang. Dan
ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang
menandai berakhirnya kerajaan.
Betara
Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak
di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut
terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Kedua,
disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit,
Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden
Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal
dengan nama Kerajaan Selaparang.
Ketiga,
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama
kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan
Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau
Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali pada
tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah
pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan
Dompu.
Agak
sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi
di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan.
Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang
lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu
Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada
yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.
Ekspedisi
ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di
Lombok, dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama
saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur,
Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat
kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong
serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng,
Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi
wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.
Di antara
kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan
Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di
teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak.
Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari
Palembang, Banten, gersik, dan Sulawesi.
Belakangan,
ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera
Sunan Ratu Giri, datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok
disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu
Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan
Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
“Susuhnii
Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu
Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke
Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke
Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana
dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam.
Setelah
menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama
ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat
Lombok kembali kepada faham pagan.
Setelah
kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh
Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini
mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian
lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan.
Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama
Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa
hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.”
Proses
pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa
tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa
tempat yang masih mempertahankan adat istiadat lama.
Sementara
di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan
memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih
Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih
strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
Menurut
Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat
Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau
Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan
demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat
diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit
persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor
yang memiliki sumber air yang melimpah.
Di bawah
pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang
maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang
kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional
masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan
Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi
sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum
intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria
(1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik
sangat mengetahui Bahasa Kawi.
Bahkan
kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen.
Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka
para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin
manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara
lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para
pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para
walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan
Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan
diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak
Yatim, dan sebagainya.
Dengan
mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan
mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial
politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial
politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap
seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta
artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti
artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi.
Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya
hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan.
Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain
itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan
yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan
hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil),
tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh) ,
bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq
(hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).
Kemajuan
Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang.
Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan
Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.
Mengambil
pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik
memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya
membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang
subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim
Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam.
Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi
beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam.
Namun
niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena
secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di
sana-sini.
Kedatangan
VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah
menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan
dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi
Kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan
membangun Kerajaan Manggarai.
Ekspansi
Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan
pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka
tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624,
yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa
akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang
Gelgel.
Akan
tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh
Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin
kerjasama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya
Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali
ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah
Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat
sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian bara
pulau Sumbawa.
Akhirnya
perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan
keras terutama dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan
dari Timur. Sejarah mencatat Gowa harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun
1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan
Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda.
Konon
Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke
pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut
gagal.
Sekalipun
Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun
pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul
pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya
para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan
mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah
menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan,
yang berdiri pada tahun 1622.
Namun
bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara
tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan
ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian
kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah
kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan
pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Di balik
itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara
Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya
saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini.
Atau saling lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangandan upaya
mengahadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara
tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih
kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih
pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan
Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu
(Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa
Labulia yang berada di Kecamatan Jonggat
Atas
prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung
dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat
menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud
kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.
Namun
dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang.
Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah
dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat
kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati
terbunuh.
Selaparang
jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian,
pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram
Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat
menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh
lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.
Sumber :
Sejarah
Nasional Indonesia jilid II
Sejarah
lisan masyarakat (TIM MAHASISWA
UNNES SEJARAH 2009)
Tugas-Tugas
kuliah
Masukan
dari seluruh TIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar